Jakarta--Lisa Rahmat,SH kini menghadapi tuntutan pidana 14 tahun penjara atas dugaan menyuap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memutus bebas terdakwa Ronal Tanur dalam kasus pembunuhan. Selain itu, Lisa juga didakwa bersekongkol melakukan permufakatan jahat dalam penanganan perkara kasasi Ronal Tanur di Mahkamah Agung. Namun, yang menjadi sorotan utama bukan hanya beratnya tuntutan, melainkan landasan hukum yang dianggap cacat sejak awal.
Dalam fakta persidangan, Kuasa Hukum Lisa Rahmat,SH Advokat. Andi Syarifuddin,SH mengungkapkan bahwa penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa penyidik terhadap klien mereka tidak memenuhi prosedur hukum. Tidak ada surat perintah penyelidikan, penangkapan, ataupun izin penyitaan dari pengadilan yang sah. Padahal, sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP, tindakan seperti itu hanya sah bila dilakukan dalam kondisi tertangkap tangan — sementara perkara Lisa terjadi beberapa bulan sebelum tindakan penyitaan dan penangkapan dilakukan.
Seorang ahli hukum pidana yang dihadirkan dalam sidang turut menegaskan bahwa proses hukum yang dilakukan dengan cara tidak sah akan berakibat pada tidak sahnya seluruh proses hukum berikutnya. Bahkan jika sampai pada vonis, keputusan itu dapat dikualifikasikan sebagai batal demi hukum.
Lisa Rahmat didakwa hanya berdasarkan dua bukti permulaan: chat WhatsApp dan catatan yang ditemukan dari buku serta ponsel pribadinya. Bukti ini, menurut ahli, tidak memenuhi ketentuan Pasal 184 KUHAP yang mensyaratkan adanya minimal dua alat bukti sah untuk dapat menyatakan terdakwa bersalah secara meyakinkan.
Dalam sidang juga terungkap bahwa seluruh saksi fakta yang dihadirkan jaksa penuntut umum menyatakan tidak tahu-menahu, tidak melihat, dan tidak mendengar secara langsung adanya peristiwa penyuapan yang dilakukan Lisa. Bukti surat yang valid seperti bukti transfer atau kuitansi juga tidak pernah dihadirkan.
Begitu pula tidak ada keterangan ahli forensik yang dapat membuktikan keterlibatan Lisa, seperti sidik jari pada uang suap. Petunjuk yang mendukung dugaan jaksa juga tidak ditemukan, dan Lisa sendiri tidak pernah mengaku melakukan penyuapan. Satu-satunya yang mengaku adalah Erintua Damanik, salah satu hakim penerima suap, namun keterangan ini berdiri sendiri, dan statusnya sebagai sesama terdakwa membuat kesaksiannya tidak dapat diberlakukan kepada terdakwa lain.
Ironisnya, pengakuan Damanik pun berubah-ubah. Dalam BAP awal, ia tidak mengaku menerima suap. Namun setelah dipindahkan ke tahanan yang lebih manusiawi dan ber-AC, Damanik justru mengaku — meski menurut Lisa, itu dilakukan karena tekanan situasi tahanan, bukan berdasarkan fakta.
Dalam dakwaan kedua, Lisa juga dituduh melakukan permufakatan jahat dengan Jarof Ricar terkait penanganan kasasi Ronal Tanur. Namun dakwaan ini pun dinilai lemah secara hukum. Permufakatan jahat dalam perkara korupsi suap, menurut Undang-Undang Tipikor, mensyaratkan adanya pelaku yang berstatus sebagai penyelenggara negara atau pegawai negeri. Dalam hal ini, baik Lisa maupun Jarof tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Tanpa adanya penyelenggara negara dalam struktur permufakatan, unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak terpenuhi, sehingga dakwaan ini semestinya tidak dapat dilanjutkan.
Yang mengejutkan, jaksa justru memperberat tuntutan terhadap Lisa karena dianggap tidak kooperatif selama persidangan. Padahal, menurut hukum acara pidana, penjatuhan pidana harus didasarkan pada alat bukti, bukan sikap terdakwa. Hal ini bertentangan langsung dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi.”
Fakta-fakta persidangan yang mencuat justru menunjukkan lemahnya pembuktian atas tuduhan terhadap Lisa Rahmat. Tidak adanya minimal dua alat bukti sah seharusnya membuat majelis hakim memutus bebas. Tuntutan 14 tahun penjara yang dibangun di atas proses hukum cacat dan pembuktian yang lemah berpotensi mencederai asas keadilan dan memperlihatkan wajah hukum yang timpang: menghukum bukan karena bukti, tapi karena persepsi.
Kini, harapan terakhir ada di tangan majelis hakim untuk membuktikan bahwa pengadilan adalah tempat mencari keadilan bukan sekadar ruang formalitas untuk mengukuhkan kekuasaan proses hukum yang telah keliru sejak awal.(As).